Implementasi kurikulum 2013 memberikan konsekuensi kepada
guru untuk melakukan penilaian pada tiga ranah, yakni sikap, pengetahuan dan
keterampilan. Penilaian seperti ini sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Pada
kurikulum sebelumnya (KTSP 2006) kitapun mengenal ketiga aspek penilaian
tersebut sebagai penilaian ranah afektif, kognitif dan psikomotor. Sudah barang
tentu, esensi perubahan pada kurikulum 2013 bukan hanya pada istilah, tetapi
lebih pada perubahan substansi dan proses penilaian.
Pada ranah sikap, komponen utama penilaiannya terdiri dari :
-
Observasi (oleh
guru)
-
Penilaian diri (oleh
siswa)
-
Penilaian teman sejawat (oleh siswa)
-
Jurnal (oleh
guru)
Pada ranah keterampilan, komponen utama penilaiannya terdiri
dari :
-
Praktik
-
Portofolio
-
Proyek
Ada hal cukup menarik, khususnya pada penilaian aspek
pengetahuan. Pada dua pendampingan terakhir yakni di Hotel Sahid Jaya, Solo, 30
Oktober – 1 November 2013 dan di Lor In Hotel, 7 – 9 November 2013 terjadi
pembahasan cukup lama pada penilaian aspek pengetahuan. Sebagaimana tertuang di
permendikbud 81A tahun 2013, disebutkan bahwa nilai pengetahuan ditulis dalam
skala 1 – 4 (kelipatan 0,33). Lebih jelasnya ditampilkan dalam table berikut:
Nilai
|
Predikat
|
A
|
4
|
A-
|
3,66
|
B+
|
3,33
|
B
|
3
|
B-
|
2,66
|
C+
|
2,33
|
C
|
2
|
C-
|
1,66
|
D+
|
1,33
|
D
|
1
|
Apa yang sebenarnya menjadi masalah dengan model penilaian
di atas?
Dengan menggunakan model seperti di atas, maka siswa yang mendapatkan nilai 75 dan 79,
sama-sama akan mendapatkan nilai 2,66. Dari sisi kuantitatif, maka kedua siswa tersebut
mempunyai kemampuan sama, padahal mestinya tidak demikian. Sebuah contoh
ekstrim (yang mungkin kecil peluangnya untuk terjadi), missal kita temukan dua
siswa Si A dan Si B. Pada keenambelas mata pelajaran, Si A hanya mampu meraih
nilai 79, sehingga jika dirata-rata nilainyapun 79. Si B mendapatkan nilai 75
pada semua mata pelajaran, artinya nilai rata-ratanyapun 75. Jika nilai kedua
siswa tersebut dikonversi, maka kedua siswa tersebut memperoleh nilai yang
sama, yakni 2,66.
Terlepas dari penting atau tidaknya pemeringkatan, prinsip
penilaian di atas tentu saja merugikan siswa. Terlebih jika kebijakan ini tidak
dibarengi dengan kebijakan lain seperti input nilai pada PDSS yang selama ini
menggunakan skala 100.
Jalan Tengah yang Meragukan
Di tengah polemik sistem penilaian dengan berbagai
kendalanya, muncul sebuah jalan tengah yakni pemberlakuan interval. Artinya,
nilai A merupakan nilai kategori, yang tidak berarti 4. Dalam pertemuan di Hotel
Sahid Jaya, Solo, 30 Oktober – 1 November 2013 sebenarnya telah dibuat jalan
tengah tersebut. Penilaian skala 4 menurut madzhab ini pada dasarnya diperoleh dari
nilai skala 100 dibagi 25. Dengan aturan ini, maka nilai siswa tidak mesti
terbatas pada penambahan 0,33 tetapi memungkinkan nilai yang lain. Sebagai contoh,
siswa yang mendapat nilai 75 dalam skala 100, berarti mendapat nilai 3 pada
skala 4. Begitu juga siswa yang memperoleh nilai 79 pada skala 100, berarti
memperoleh nilai 3,16. Penilaian seperti ini barangkali lebih bisa diterima.
Akan tetapi, lagi-lagi jalan tengah ini debatable, karena dinilai bertentangan
dengan Permendikbud 81A.
Hemat kami, kita laksanakan saja apa yang selama ini kita
pahami benar, terutama sesuai dengan rekomendasi pengawas dan dinas
masing-masing. Kami lebih cenderung ke madzhab kedua diatas, yang kami nilai
lebih bisa di implementasikan. Bukan berarti mengabaikan permen yang berlaku.
Mengapa dinamakan Permendikbud 81A?
Barangkali memungkinkan muculnya Permendikbud 81B yang
merevisinya.
Ceramic vs Titanium - Trademark - T-E-Titanium-Arts
BalasHapusUse the titanium hammer Ceramic to Measure Your Plating System titanium gold (Pitanium-Arts) titanium belly button rings - T-E-Titanium-Arts for titanium dental implants and periodontics Painting. The Ceramic titanium rings is very lightweight and durable,