Quick count akhir-akhir ini ramai
digunakan untuk mendapatkan hasil perhitungan pemilihan kepala daerah langsung
dengan cepat dan akurat, hanya beberapa jam setelah tps di tutup sudah
dihasilkan informasi perolehan suara.
Quick count ini merupakan kegiatan
pengambilan sampling biasa, sama seperti survey yang sering dilakukan untuk
mengkaji objek studi tertentu, perbedaan hanya pada unit terkecil yang di ambil
dalam sampel. Jika survey unit terkecil adalah desa/kelurahan sedangkan quick
count ini adalah TPS. Alasan waktu dan biaya menjadikan proses pengambilan
sampling sering dilakukan baik dalam survey maupun quick count bahkan dalam
bidang di luar politik sekalipun.
Quick count bekerja pada sample,
bekerja pada ketidak lengkapan data, bekerja pada unit-unit statistic, juga
bekerja pada bagian dari populasi, bukan keseluruhan populasi, sehingga ada
distorsi dalam angka yang dihasilkan. Distorsi ini adalah gap atau perbedaan
atau yang lebih dikenal dengan margin of error, margin of error timbul akibat
pengambilan sampling. Idealnya sample akurat adalah sample yang dihasikan dari
proses sampling yang menghasilkan margin of error yang kecil atau yang
mendekati parameter yang sesungguhnya dalam populasi.
Lalu bagaimana cara mendapatkan
sample yang akurat itu? Bagaimana teknik dan proses sampling yang harus di
lakukan? Hal ini seringkali menjadi rahasia para peneliti cukup panjang lebar
jika dijabarkan, namun ada beberapa landasan berfikir logis yang sederhana yang
perlu diperhatikan, kesalahan atau error dalam menghasilkan statistic itu ada
dua macam, pertama kesalahan sampling dan kedua kesalahan bukan sampling.
Kesalahan sampling lebih identik
dengan penggunaan metodologi yang tepat penerapan teori dan kaidah hukum
peluang yang tepat, kaidah keacakan dan kaidah keterwakilan harus tercermin
dalam sample yang dihasilkan nanti. Penarikan sampling yang masih relevan
dengan kondisi geografis dan frame data yang ada di Indonesia ini adalah multi
stage random sampling atau pengambilan contoh acak bertahap. Menurut pengalaman
metode ini sudah cukup terbukti menangkap keragaman data yang ada.
Kemudian kesalahan bukan karena
proses sampling, hal ini tanpa disadari sering diabaikan. Jenis kesalahan ini
sifatnya teknis di lapangan seperti kecurangan petugas, kondisi geografis yang
sulit, perijinan dan juga kendala lapangan lainnya.
Setelah mengetahui jenis kesalahan
dalam proses sampling tersebut, untuk menghasilkan sample dengan margin of
error yang presisi maka perlu penentuan jumlah sampel optimum. Sample optimum
dihasilkan dari ragam optimum, sedangkan ragam optimum tercapai pada peluang
kejadian yang optimal pula. Formula penentuan sampel optimum ini cukup banyak
disajikan di literature-literatur ilmiah.
Landasan berfikir ilmiah dan logis
ini seringkali menjadi penghambat beberapa lembaga riset atau tim sukses
kandidat tertentu untuk melakukan quick count, mungkin saja relawan sudah cukup
mumpuni namun secara metodologi dan proses sampling belum mumpuni atau tidak
ingin mengambil resiko tidak akuratnya hasil yang dihasilkan. Atau mungkin
populasi yang dihadapi cukup kecil sehingga memungkinkan dilakukan mencacahan
seluruh populasi atau yang lebih dikenal dengan PVT (parallel vote tabulation)
atau sebagian lembaga mengenal Real Quick Count.
PVT atau RQC atau pencacahan seluruh
populasi idealnya tidak mengandung margin of error atau hampir bisa dipastikan
hasilnya akan sangat mirip dengan hasil perhitungan manual KPUD, atau zero
margin of error. Namun dalam kenyataannya banyak lembaga yang melakukan PVT ini
tidak sepresisi yang seharusnya. Setelah dibandingkan dengan data manual KPUD
tetap saja masih mengandung margin of error, hal ini lah yang disebut dengan
kesalahan bukan karena proses sampling lebih cenederung kesalahan yang dihasilkan
karena human error.
Sering kali factor kecepatan dan
keakuratan adalah dua alasan quick count sering di tunggu public dalam
memperoleh informasi data hasil perhitungan suara. Bukan berarti mengabikan
kaidah ilmiah dan logika berfikir demi mengejar tingkat presisi yang fantastis
dan kecepatan yang luar biasa hanya untuk meraih rekor atau penghargaan, namun
perlu diperhatikan transparansi metodologi yang digunakan. Sangat tidak fair
dan berbahaya sekali jika hasil presisi perhitungan dilakukan dengan cara-cara
yang tidak elegan dan tidak logis.
Populasi yang kecil contohnya, tidak
perlu disebut sebagai quick count terlebih-lebih tidak melakukan pendugaan
populasi, ini hal logis yang tidak terbantahkan dan tidak perlu di perdebatkan
lagi. Karena quick count adalah tools atau alat yang digunakan untuk
mengestimasi populasi yang cukup besar melalui proses sampling dan hampir sulit
dilakukan pencacahan, jika tidak terlalu sulit melakukan proses pencacahan maka
tools yang logis adalah PVT atau Real Quick Count.
Institusi atau lembaga survey yang
ingin mematenkan proses pendugaannya yang akurat tidak harus menempuh cara-cara
yang kurang terpuji dan tidak mengedepankan logika berfikir, ini fikiran
kerdil, atau bahkan sampai membayar pihak pemberi penghargaan. Hal ini
pengakuan semu, hanya sekedar kepentingan marketing sesaat yang kotor.
Perlu diketahui proses quick count akan semakin
di tinggalkan seiring kemajuan teknologi dan akses informasi yang semakin baik
di Indonesia. Sebetulnya secara bisnis pasar PVT atau real quick count lah yang
masih terus berkembang dan akan semakin diperlukan oleh intsatansi terkait,
karena perhitungan ini lebih real dan nyata.www.mediasmscenter.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar